TEATER INTERAKTIF
SEBAGAI ALAT PEMBERDAYAAN REMAJA DI KAWASAN URBAN
Meilinda
Teater adalah sebuah media yang digunakan oleh para pelaku panggung dan
penikmatnya untuk menyampaikan pemikiran dan ekspresi artistik. Namun, di
Indonesia, teater dapat digunakan untuk tujuan lain yaitu pemberdayaan
masyarakat. Bagi penulis, sangat penting agar remaja, yang menjadi generasi
penerus bangsa berlatih sedari dini untuk peka dan mampu menganalisa
permasalahan yang mereka hadapi dalam masyarakat. Terinspirasi oleh apa yang dilakukan
oleh Augusto Boal dengan Teater Kaum Tertindas-nya, penulis menawarkan sebuah
metode yang menggunakan teater sebagai alat untuk membantu remaja di dalam masyarakat
urban, khususnya Surabaya, mengidentifikasi permasalahan mereka dan mencoba
mencari solusinya. Dalam kolaborasi antara mahasiswa dan target penelitian,
mereka berhasil merumuskan permasalahan sosial yang menjadi bahaya laten dalam
hidup mereka dan mencoba mencari solusi yang dapat ditawarkan. Pementasan
teater ini berupa pementasan teater interaktif dimana penampil mengajak
partisipasi penonton untuk memilih solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang
dialami tokoh utama dalam cerita. Melalui proyek peneilitian ini, penulis
membuktikan bawa teater dapat dijadikan alat yang efektif untuk memberdayakan
anak- remaja di daerah urban.
Kata Kunci: teater interaktif, pemberdayaan masyarakat,
kolaborasi
INTERACTIVE THEATRE AS A WAY TO EMPOWER YOUNG URBAN
COMMUNITY
Theatre as a
medium of artistic expression has been successful in providing space thespians and spectators
to enjoy a work of art. However, in the case of Indonesia, theatre may have a
role for empowering people. For the writer, it
is very important to give a chance to young people to exercise their analytical
skill in analyzing problems that they face in the society. Inspired by
Boal’s Theatre of the Oppressed, in this paper I propose a method that is using theatre as a way to help young people in the urban
community, especially in Surabaya. Collaborating
with my students in the University, the participants are challenged to identify
their real problem and come up with the solution. In this program,
interactive theatrical method is used for writing the script and staging the
performance. In this way, through the interactive theatrical production, that
is, a combination of artistic and social aspects, I would suggest that
interactive theatre can be an alternative for service learning program.
Keywords: interactive theatre, community empowerment,
collaborative work
I.
PENDAHULUAN
Teater telah telah sedemikian lama telah digunakan
untuk menyampaikan ide- ide dalam bentuk artisitik oleh para pelaku teater dan
diamini oleh para penikmatnya. Hal ini juga telah dilakukan oleh penulis yang
aktif berteater di Petra Little Theatre
(PLT), sebuah teater di Jurusan Sastra Inggris UK Petra. PLT adalah sebuah
laboratorium bagi mahasiswa Sastra Inggris UK Petra agar lebih mudah
mempelajari sastra. Sebagai konsekuensinya, karya – karya yang diproduksi
mengambil dari karya penulis- penulis besar dari dunia barat. Sebut saja Ibsen, Fornes, Williamms dan Chekhov; mereka adalah sederet nama
penulis Barat yang karyanya dimainkan oleh PLT. Setelah dua belas tahun
melakukan hal yang serupa, penulis merasa terusik. Karya- karya sastra yang
ditampilkan hanya menjadi sebuah demonstrasi kreatifitas artistik yang jauh
dari realita yang terjadi di sekitar penulis. Penulis berfikir bahwa drama
seyogyanya dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat dan sesuai dengan
konteks yang ada di dalam masyarakat.
Victor Cousin, seorang pemikir dari Perancis, pernah menyatakan “L’art pour l’art” (seni adalah untuk seni), yang secara tidak langsung mengimplikasikan bahwa seni
terpisah dari kehidupan. (Comfort,
2011:5).
Namun, kritikus seni kontemporer dan teori menawarkan pemikiran relational aesthetics, dimana seni lebih
memperhatikan hubungan manusia dan konteks sosialnya (Bourriaud, 2002). Selain
itu Claire Doherty (2004) dengan bukunya From
Studio to Situation juga mencoba menilik bagaimana karya seni mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh keadaan sosial. Tren baru ini memotivasi dan mempengaruhi
pemikiran para seniman dalam melihat relasi antara seni dan manusia serta
keadaan sosial diantaranya. (Ang et
al.,2011:1)
Berdasarkan pemaparan di atas penulis menjadi tertarik untuk melihat bagaimana
teater dapat lebih bermanfaat daripada
sekedar membantu mahasiswa memahami pelajaran kuliahnya. Dapatkah teater
digunakan sebagai alat untuk memberdayakan anak- remaja?
Penulis juga terinspirasi
oleh apa yang dilakukan oleh Augusto Boal dengan Teater Kaum Tertindasnya. Boal
memiliki keyakinan bahwa teater dapat dijadikan alat untuk refleksi, mengubah
dan mengajarkan sesuatu pada masyarakat. Hal ini disampaikannya melalui
bukunya Theatre of the Oppressed (1979).
Karya tulis ini akan
membahas bagaimana sebuah proyek pementasan yang melibatkan mahasiswa dan remaja
dari kawasan yang dipilih mencoba mengidentifikasikan dan mencari jalan keluar
dari masalah yang mereka hadapi melalui teater. Mungkin saja hal ini tidak
langsung memecahkan masalah mereka. Namun, setidaknya menyadarkan mereka bahwa
masalah itu nyata dan ada di antara mereka. Kemampuan melihat, menganalisa dan
mengakui terdapatnya sebuah masalah adalah sebuah keahlian yang dibutuhkan
untuk mempersiapkan mereka dalam menghadapi masalah di kemudian hari. Selain
itu, kemampuan untuk mengusulkan sebuah jalan keluar dari masalah yang
teridentifikasi adalah juga merupakan salah satu kebutuhan pada masa ini.
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan mahasiswa
UK Petra yang latar belakang perekonomiannya datang dari kelas menengah ke
atas yang mengambil kelas Akting di Jurusan Sastra Inggris dan juga masyarakat
urban marjinal yang ada di tengah kota Surabaya. Masyarakat yang diambil
sebagai subyek penelitian ini adalah kaum muda yang berusia antara lima belas
sampai dengan dua puluh satu tahun yang merupakan binaan sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat Pondok Kasih. Mereka masih ada yang bersekolah namun ada juga yang
sudah tidak bersekolah karena keterbatasan ekonomi.
Mereka hidup di daerah rawan kejahatan yang adalah bekas lokalisasi. Dengan
demikian perbedaan usia antara mahasiswa dengan masyarakat terpilih tidak
terpaut jauh. Hal ini memudahkan mereka dalam berkomunikasi dan memahami topik
– topik yang dibahas dalam kehidupan sehari- hari.
Penulis menggunakan salah satu prinsip yang digagas oleh Augusto Boal yaitu
Forum Theatre. Konsep ini dimanfaatkan oleh Boal untuk
mengangkat dan mendiskusikan isu- isu sosial yang dihadapi oleh masyarakat
dibawah penindasan militer di Rio De Jenerio. Teater ini memungkinkan
kolaborasi antara aktor dan penonton dalam sebuah pementasan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh para aktor dalam cerita. Jackson menulis dalam kata pembuka di bukunya bahwa aktor dalam pementasan
ini akan mempertontonkan sebuah cerita yang belum selesai pada penonton dan
mengundang mereka untuk turut menyelesaikan permasalahan di atas panggung atau
memecahkan konflik yang dihadapi (1991). Boal menyatakan bahwa Forum Theatre
adalah salah satu jalan yang memanfaatkan teater untuk lebih memahami tentang
kehidupan dan memberi kekuatan dan rasa percaya diri pada orang- orang di
dalamnya guna mengatasi tekanan yang dimilikinya (Boal, 2005, p.xxiv).
Ternyata metodologi ini bukan hanya dapat dilakukan di Brazil namun juga di
Amerika. Michael
Rohd, seorang guru dan praktisi teater di Sekolah Menegah
berlokasi di New Hampshire, USA mencoba untuk menggapai siswa yang memiliki
masalah sosial dalam kegiatan yang positif dengan menggunakan metode ini. Dia
mencoba mengarahkan pola pikir yang lebih positif dan membangun harga diri
mereka sehingga lebih mampu untuk melihat masa depan mereka dengan positif.
Dalam bukunya Theatre for
Community, Conflict and Dialogue: the hope is Vital Training Manual (1998), dia menyatakan bahwa “hope is vital”,
memiliki harapan adalah sesuatu yang sangat vital. Sangat penting untuk membuat
remaja yang terlibat dalam proyek ini menyadari bahwa masih ada harapan untuk
mereka dan melalui teaterlah mereka memahami hal ini.
Penggiat teater lainnya Michael Sanders juga menulis
dalam sebuah makalah yang berjudul “Urban
Odyssey: Theatre of the Oppressed and Talented Minority Youth”, yag diterbitkan didalam Jurnal Pendidikan, Education of the Gifted (2004) bahwa dia memanfaatkan metodologi yang digagas oleh Boal untuk
mendiskusikan dan menolong para remaja dalam proyek yang dia lakukan untuk
memikirkan kembali rasisme dan diskriminasi yang terjadi di dalam komunitas
mereka. Dua aplikasi yang dilakukan baik oleh Rohd maupun Sanders menginspirasi
saya untuk menggunakan konsep yang digagas oleh Boal.
Pengamatan, diskusi dalam kelompok, pelatihan dan latihan teater bersama serta
refleksi menjadi alat dalam mengumpulkan data yang diperlukan. Menurut Kemmis
dan McTaggart dalam artikel mereka “Participatory
Action Research: Communicative Action and the Public Sphere” (2005),PAR memiliki tiga prinsip:
1.
Berbagi kepemilikian
proyek riset dengan obyek yang diteliti
2.
Analisa berdasarkan
komunitas dalam melihat sebuah masalah sosial.
3.
Berorientasi terhadap
aksi komunitas.
Dengan paparan
di atas, penulis terlibat dalam proyek ini bersama obyek penelitian dan
berproses bersama - sama. Dengan demikian kepemilikan pementasan bukan hanya
berdasar kebutuhan peneliti namun juga berdasar kebutuhan obyek penelitian. Permasalahan
yang diangkat dalam pementasan juga berdasarkan permasalahan yang benar- benar
ada di masyarakat terkait. Analisa permasalahan diarahkan pada kebutuhan
masyarakat obyek penelitian. Solusi yang ditawarkanpun merupakan solusi yang
dapat diambil sebagai sebuah aksi dalam komunitas.
Parameter yang diamati adalah berdasarkan masalah apa yang dipilih dan
diangkat dalam naskah pementasan serta cara yang diambil oleh mereka untuk
memutuskan kemungkinan dua solusi yang harus dipilih oleh penonton pada akhir
pementasan.
III.
HASIL & PEMBAHASAN
Pemaparan hasil ini
dibagi menjadi tiga bagian yaitu persiapan pementasan, pementasan dan evaluasi
pementasan. Pembagian ini berdasarkan kebutuhan masing- masing bagian dalam
sebuah produksi teater. Dua puluh
peserta dari Pondok Kasih bersama- sama dengan lima orang mahasiswa mengerjakan
sebuah pementasan. Tim ini didampingi oleh seorang fasilitator yang telah
dilatih oleh penulis.
A.
Persiapan Pementasan
Isu paling utama dalam bagian ini adalah membangun rasa percaya antara satu
sama lain serta memastikan bahwa masing- masing peserta berkomitmen dengan
tujuan akhir yang ditetapkan bersama. Perlu ditekankan bahwa teater adalah
sebuah bentuk seni kolektif sebagaimana tubuh manusia dengan berbagai organnya.
Tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Masing- masing memiliki fungsi dan
harus bekerja sama untuk memastikan bahwa tubuh dapat berfungsi dengan baik dan
benar. Pemaparan ini diberikan dalam bentuk permainan- permainan oleh fasilitator.
Pemaknaan akan permainan didiskusikan bersama menjadi satu kesimpulan yang
diambil bersama oleh kelompok. Tugas fasilitator ditahap ini adalah mengarahkan
mereka dengan pertanyaan- pertanyaan yang tepat.
Tahap selanjutnya adalah penggalian ide. Dimulai dengan perkenalan diri,
bukan sekedar biodata, melainkan siapakah mereka, apa mimpi mereka, apa hal
yang mereka sukai dan tidak sukai, apa saja tantangan yang mereka hadapi. Apakah
mereka masih memilki harapan untuk mendapatkan apa yang mereka impikan.
Kelompok ini mengidentifikasikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga,
perceraian orang tua dan mereka tidak merasa memiliki pilihan untuk
menghentikan keadaan tersebut. Ketika penulis bertanya mengapa tidak berupaya
untuk bertanya pada orang tua mengapa harus dipukul, jawaban sebagian dari
mereka beragam mulai tidak berani, sudah dilakukan tapi tetap saja tidak ada
yang berubah dan “percuma”. Sebagian dari mereka telah menyerah pada keadaan
dan menerima hal ini sebagai kenyataan yang tidak dapat dirubah. Keterdesakan
keadaan ekonomi dapat memicu kejahatan di antara mereka. Keinginan mereka untuk sekolah juga terhambat
dengan adanya keterbatasan ekonomi. Perbedaan agama dalam sebuah keluarga juga
dapat mengakibatkan kekerasan fisik yang dilakukan orang tua dan pengusiran
remaja. Dari masalah- masalah yang teridentifikasi, diklasifikasikan mana
masalah sangat menekan namun kontrol penyelesaiannya ada di tangan mereka,
mempengaruhi masa depan mereka dengan signifikan dan perlu segera diantisipasi.
Kelompokpun menemukan bahwa isu tentang
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan serta kenakalan remaja menjadi satu
permasalahan yang perlu diangkat ke atas panggung.
Peserta kemudian belajar untuk menulis karyanya sendiri, menggunakan bahasa
yang mereka gunakan sehari – hari yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa dialek
Surabaya. Mereka diajarkan tentang teknik pembentukan karakter yang mengikuti
konsep Robert
Barton dalam bukunya Acting Onstage and Off (2003, p. 120). Pembentukan alur cerita menggunakan piramida yang digagas oleh Gustav Freytag (http://oak.cats.ohiou.edu/~hartleyg/ref/freytag.html).
Naskah yang dihasilkan harus memiliki dua akhir
untuk memberi kesempatan pada penonton memilih nasib dari tokoh utama.
Naskah mereka bercerita tentang seorang remaja putri dengan adik
perempuannya. Mereka kerap mengalami kekerasan fisik dari Ayahnya yang temperamental.
Ayah adalah satu- satunya sumber ekonomi dan Ibu tidak bekerja. Akan tetapi
penghasilan yang diberikan tidak cukup untuk kehidupan sehingga Ibu memutuskan
untuk membiarkan anak – anaknya. Perkelahian antara Ayah dan Ibu adalah bagian
dalam kehidupan mereka sehari- hari. Karena kekurangan – kekurangan yang ada
tokoh utama mulai mencoba mencari uang dan pelarian. Dia memutuskan untuk
melakukan kekerasan pada orang lain yang dipandang lebih lemah, pencopetan dan
pemalakan pada orang- orang di sekitarnya. Uang yang diperoleh digunakan untuk
membeli minuman keras sehingga tokoh utama dapat lari dari kenyataan. Pada satu
titik, ketika ada calon korban yang dapat memberontak tokoh utama dihadapakan
pada dua pilihan. Tetap melakukan pemalakan atau berhenti melakukan pemalakan.
Masing- masing memiliki konsekuensi. Disinilah peran penonton, mereka akan
terlibat dalam sebuah diskusi, apa yang harus dilakukan oleh tokoh utama. Apabila mereka memilih berhenti melakukan
pemalakan, maka polisi akan datang dan menangkap tokoh utama. Namun bila mereka
memilih untuk tetap melakukan pemalakan agar dapat lari dari kenyataan meski
sebentar maka tokoh utama akan terlibat dalam sebuah pembunuhan.
Di dalam proses pembuatan penulis mencatat celetukan dari salah satu
remaja, bahwa “lebih baik mabuk- mabukan sendiri aja, asik sendiri aja daripada
pusing di rumah seperti itu”. Hal ini membuktikan bahwa sikap apatis dan
mencoba mencari pelarian adalah sebuah sikap yang dipilih karena sudah percaya
bahwa tidak ada yang dapat dilakukan lagi. Ada kemarahan yang ingin
disampaikan. Tiga topik yang diangkat diatas adalah kekerasan dalam rumah
berdampak pada keinginan balas dendam dan melampiaskan hal tersebut pada orang
yang dianggap lebih lemah, Pencopetan adalah satu usaha yang dilakukan diam-
diam untuk mendapatkan miliki orang lain. Sementara pemalakan adalah tindakan
yang mengingini milik orang lain dengan gamlang dan kekerasan. Dari cerita yang
diangkat maka dapat disimpulkan bahwa remaja terlibat paham bahwa kekerasan
akan menghasilkan kekerasan lainnya dan terus demikians ampai salah satunya
akan mendapatkan celaka (ditangkap polisi) atau makin melakukan kejahatan yang
lebih serius (pembunuhan).
Setelah naskah disiapkan maka tim pementasan dibentuk. Aktor mendapatkan
pelatihan akting dengan menggunakan metodologi dari Robert Cohen dalam bukunya Acting One (1998, p.53). Untuk lebih memahami tubuh mereka, pelatihan menggunakan Viewpoints dari
Bogart (2005) juga diberikan. Hal ini memudahkan aktor untuk menggerakan dan
mengontrol tubuhnya di atas panggung. Sementara itu tim artistik mendapatkan
persiapan sesuai dengan buku panduan The
Essential Theatre oleh Oscar G. Brokett dan Robert J. Ball (2011). Kelompok
kemudian disibukan dengan latihan dan persiapan pementasan. Masalah- masalah
yang timbul beragam. Mulai dari mendapat larangan dari orang tua untuk
berpasrtisipasi kembali sampai pada anggota yang harus keluar karena harus
bekerja. Masalah- masalah tersebut tidak menyurutkan semangat anggota lain,
justru malah mereka semakin kompak dan mencoba untuk lebih saling memperhatikan
satu sama lain. Hal ini menarik karena bertolak belakang dengan sikap awal
mereka yang apatis.
B. Pementasan
Ketika karya ini dipentaskan dalam Onstage Festival yang diadakan oleh PLT,
secara fungsi artistik semua berjalan dengan baik, namun interaksi dengan
penonton menjadi sesuatu yang sangat menarik. Pada saat penonton ditanya apa
yang harus dilakukan oleh tokoh utama, penonton memutuskan untuk tokoh utama
tetap memalak si korban. Mereka tidak menyadari bahwa pilihan mereka akan
mengantar tokoh utama dalam situasi yang lebih pelik.
Penulis
sempat mewawancara beberapa penonton, mereka menyampaikan kekecewaan mereka atas
cerita yang disajikan. Mereka tidak menyangka bahwa tokoh utama akhirnya harus
melakukan sebuah pembunuhan. Mereka kecewa karena ada konsekuensi yang besar
yang harus ditanggung oleh tokoh utama. Kelemahan dari pementasan ini adalah
absennya diskusi setelah pementasan. Hal ini menjadi catatan bagi penulis bahwa
diskusi bukan hanya perlu terjadi saat penonton mencoba menentukan akhir
cerita, namun juga saat penonton telah membuat keputusan dan mendiskusikan
hasil dari keputusan tersebut.
C. Evaluasi Pementasan
Setelah pementasan maka proses
selanjutnya daalah evaluasi. Diskusi dan kuesioner digunakan untuk menggali
pendapat atas apa yang dialami oleh kelompok yang diteliti. Dari hasil diskusi
ditemukan bahwa mereka menyadari tidak semua permasalahan memiliki jalan
keluar. Namun, perubahan terdapat pada bagaimana mereka melihat peran mereka
dalam sebuah masalah. Bahwasanya mereka juga berhak mengambil kendali dari apa
yang terjadi. Melalui pementasan ini, mereka diasadarkan bahwa mereka juga
memiliki kontrol dan kekuatan untuk bertindak dimana masing- masing tindakan
memiliki konsekuensinya. Mereka juga menjadi lebih paham bahwa dukungan satu
sama lain diperlukan dan dapat menguatkan. Seperti apa yang dikatakan Nindya
Ayu Kartika, salah satu remaja di kelompok ini, dia menyampaikan bahwa kegiatan
ini sangat berguna karena “ membuat kita tetap tegar, sabar, taat dan setia
pada Tuhan dalam setiap permasalahan” selain itu dia menyampaikan bahwa dia
belajar untuk “ menentukan arah kehidupan kita dalam suatu masalah yang berat”.
Di lain pihak, mahasiswa penulis yang terlibat menyampaikan bahwa
program ini mengkondisikan mereka untuk segera menguasai ilmu yang dibagikan di
kelas sehingga dapat menolong teman- temannya di Pondok Kasih.
Selain itu,
mereka juga menjadi lebih mandiri dan mampu mengkoordinir orang lain dan lebih
paham bagaimana harus bekerja dalam kelompok. Kemampuan kolaborasi mereka juga
makin meningkat dan yang terutama adalah kemampuan mereka untuk menyatakan
bahwa perbedaaan itu ada dan wajar. Hal ini menjadi sangat pentings ehingga
mereka lebih mampu berempati terhadap pemasalahan yang dihadapi oleh orang
lain. Mereka mampu membuat pernyataan bahwa mereka menjadi sadar bahwa banyak
yang membutuhkan bantuan dan mereka harus lebih peka dalam melihat permasalahan
kehidupan.
IV.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis berargumen teater memang dapat
dimanfaatkan untuk menjadi salah satu alat guna memberdayakan remaja di kawasan
urban. Hasil dari proyek penelitian ini dapat diukur dengan kasat mata dari apa
yang dikatakan oleh peserta dan penonton. Namun apakah kegiatan ini dapat berdampak
panjang bila hanya dilakukan sekali? Memang dibutuhkan penelitian yang bersifat
longitudinal untuk mengetahuinya.
Bibliography
Barton, Robert. 2003. Acting
Onstage and Off. Belmont, Thomson Wadsworth.
Boal, Augusto. 1979. Theater of the Oppressed. New York:
Theatre Communication Group. 2005. Games for Actor and Non-Actor. 2nd ed. New
York: Routledge.
Bogart, Anne & Lindau, Tina. 2005 The Viewpoints Book.New York:Theater
Communications Group Inc.
Bourriaud, Nicolas. 2002. Relational Aesthetics. France, Les Presse
Du Reel,Franc.
Brockett, Oscar G. & Ball, Robert J. 2011. The
Essential Theatre. Boston: Wadsworth.
Carver, Rebecca. 2009. “Theotrical Underpinnings of
Service Learning”. Theory into Practice. London, Routledge.
Cohen, Robert. 1998. Acting
One. Third Ed. California, Mayfield Publishing Company.
Doherty, Clare. 2004.
Contemporary Art: From Studio to Situation. Bristol, Black Dog Publishing.
Wheeler, L Kip. 2004 Freytag, Gustav. Technic Des Drama. May 2015. https://web.cn.edu/kwheeler/documents/Freytag.pdf
Rohd, Michael. 1998. Theater
for Community, Conflict and Dialogue: The Hope is Vital Training Manual.
Portsmouth, NH:Heinemann.
Sanders, Michael. 2004. “Urban Odyssey: Theatre of the
Oppressed and Talented Minority Youth.” In Journal for the Education of the
Gifted. Vol 28. No.2.p.218-241.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar